Filosofi Rumah Tradisional Jawa
Filosofi Rumah Tradisional Jawa*
Bangunan
tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang bersifat
konkret. Dalam kontruksinya, setiap bagian/ruang dalam rumah adat sarat
dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan
tersebut. Begitu juga dengan rumah tradisi Jawa. Konstruksi bangunan
yang khas dengan fungsi setiap bagian yang berbeda satu sama lain
mengandung unsur filosofis yang yang sarat dengan nilai-nilai religi,
kepercayaan, norma dan nilai budaya adat etnis Jawa. Selain itu, rumah
tradisi Jawa memiliki makna historis yang perlu dipelihara dan
dilestarikan.
Akibat perubahan masyarakat
dewasa ini, tradisi-tradisi lama cenderung ditinggalkan. Hal ini
terjadi akibat perubahan pola pikir yang didukung oleh perubahan sosial
dan lingkungan masyarakat. Begitu pula dengan rumah tradisi yang semakin
jarang ditemukan. Di perkotaan pada umumnya, masyarakat lebih nyaman
membangun rumah dengan konsep modern atau tinggal di perumahan dan
apartemen. Tidak hanya di kota, masyarakat pedesaan pun mulai merubah
tempat tinggalnya menjadi bangunan modern.
Perubahan tersebut tentu saja
disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Maka tidak mengherankan apabila
generasi muda etnis Jawa sendiri tidak mengenal secara mendalam tentang
rumah adat Jawa. Selain sulit untuk menemukan rumah tersebut di
lingkungan tempat tinggalnya, sedikit sekali sumber informasi yang bisa
mereka peroleh. Banyak bangunan bernilai historis berarsitektur Jawa
maupun etnis lain yang tidak terpelihara atau bahkan dibongkar karena
tidak dapat difungsikan lagi dan diganti dengan gedung/bangunan modern.
Rumah tradisi Jawa masih bisa
ditemukan pada Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. berciri tropis
sebagai upaya penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang beriklim
tropis. Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi tersebut dengan
membuat teras depan yang luas, terlindung dari panas matahari oleh atap
gantung yang lebar, mengembang ke segala sudut yang terdapat pada atap
joglo (Indrani, 2005: 47). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 2) Rumah
tradisi Jawa yang bentuknya beraneka ragam mempunyai pembagian ruang
yang khas yaitu terdiri dari pendopo, pringgitan, dan dalem.
Terjadi penerapan prinsip
hirarki dalam pola penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan
nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang
bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan dari bagian
teras, pendopo sampai bagian belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya
memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi hidup etnis
Jawa. Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang
pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga)
sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang
tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun
lengkap dengan ranjang, kasur, bantal, dan guling dan bisa juga
digunakan untuk malam pertama bagi pengantin baru (Widayat, 2004: 7).
Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai penghormatan
terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi
kehidupan masyarakat Jawa.
Rumah tradisi Jawa banyak
mempengaruhi rumah tradisi lainnya, diantaranya rumah abu (bangunan yang
didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai rumah sembahyang
dan rumah tinggal untuk menghormati leluhur etnis Cina). Oleh karena
itu, struktur rumah abu memiliki banyak persamaan dengan rumah tradisi
Jawa dalam berbagai segi.
Tulisan ini akan mengungkap
konstruksi rumah tradisi Jawa secara fisik dan meninjaunya dari segi
filosofis masyarakat Jawa. Bangunan atau rumah tradisi tidak hanya
dibangun sebagai tempat tinggal tetapi juga diharapkan membawa
kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuninya melalui pernggabungan
unsur makrokosmos dan mikrokosmos di dalam rumah tersebut. Dengan
demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai dan membawa dampak
positif bagi penghuninya. Mendalami unsur filosofi dalam rumah tradisi
Jawa membuka kemungkinan usaha generasi muda sebagai pewaris kebudayaan
di masa yang akan datang untuk memelihara dan melestarikan warisan
generasi pendahulunya.
Konstruksi Rumah Tradisi Jawa
Rumah tradisi Jawa mengalami
beberapa fase perubahan yang panjang. Salah satunya adalah bangunan
rumah Jawa yang terdapat pada relief-relief Candi Borobudur berbentuk
rumah panggung (Widayat, 2004: 4).
Teras dan Pendopo
Di bagian depan, rumah tradisi
Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap dan pendopo (pendhapa)
yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru)
yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan menerima tamu-tamunya.
Bentuk pendopoumumnya persegi, di mana denah berbentuk segi empat selalu
diletakkan dengan sisi panjang ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak
memanjang ke arah dalam tetapi melebar ke samping (Indrani, 2005: 7).
Pendopopada rumah Jawa terbuka
tanpa pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan sikap
keterbukaan pemilik rumah terhadap siapa saja yang datang.
Pendopobiasanya dibangun lebih tinggi dari halaman, ini dimaksudkan
untuk memudahkan penghuni menerima tamu, bercakap-cakap sambil duduk
bersila di lantai beralas tikar sesuai tradisi masyarakat Jawa yang
mencerminkan suasana akrab dan rukun.
Bentuk salah satu ruang dalam
rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis
tentang makna ruang yang dalam dimana keberadaan pendoposebagai
perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat Jawa.
Pendopotidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna
filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai tempat untuk
mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara penghuni dengan
kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendopo merupakan
aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.
Pringgitan
Ruang yang masih berfungsi
sebagai ruang publik adalah ruang peralihan dari pendopomenuju ke dalem
ageng disebut pringgitan, yang juga berfungsi sebagai tempat mengadakan
pertunjukan wayang kulit pada acara-acara tertentu. Pringgitanmemiliki
makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai
simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan
bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan
sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun,
1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang
antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang
(ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan
untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa
yang maha hebat).
Dalem Ageng
Semakin masuk ke bagian dalam
rumah tradisi Jawa, semakin menunjukkan hirarki dalam pola penataan
ruangnya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, semakin masuk ke
bagian belakang ruangan tersebut bersifat khusus (pribadi/privat).
Bagian dalam dari rumah tradisi Jawa disebut dalem ageng. Ruangan ini
berbentuk persegi yang dikelilingi oleh dinding pada keempat sisinya.
Dalem ageng merupakan bagian terpenting dalam rumah tradisi Jawa sebab
di dalamya terdapat tiga senthong atau tiga kamar. Tiga senthong
tersebut dinamakan senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen.
Senthong tengah dinamakan juga krobongan yaitu tempat untuk menyimpan
pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau
krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya.
Sedangkan senthong kiwa dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang
tidur anggota keluarga. Senthong kiwa merupakan ruang tidur anggota
keluarga laki-laki dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur
anggota keluarga perempuan.
1. Pendhapa
2. Pringgitan
3. Dalem
a. Senthong kiwo
b. Senthong tengah
c. Senthong tengen
4. Gandhok dan pawon.
Krobongan
Kepercayaan masyarakat Jawa
terhadap Dewi Sri tidak lepas dari kehidupan mereka yang agraris. Dewi
Sri merupakan dewi kesuburan yang berperan penting dalam menentukan
kesejahteraan masyarakat agraris (para petani). Agar dalam berusaha
lancar maka perlu menyediakan tempat yang khusus di rumahnya untuk
menghormati Sang Tani. Y.B. Mangunwijaya (1992 : 108) menjelaskan yang
dimaksud dengan Sang Tani adalah bukan manusia si petani pemilik rumah,
melainkan para dewata, atau tegasnya Dewi Sri.
Di dalam dalem atau krobongan
disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama,
Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang
sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan
guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin baru, hal ini
dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi
Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan(Mangunwijaya, 1992:
108). Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah
atau krobongan berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan)
yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda
lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya
mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang
perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).
Gandhok dan Pawon
Ruangan di bagian belakang
dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan kanan pringgitan
dan dalem. Juga terdapat pawon yang berfungsi seagai dapur dan pekiwan
sebagai wc/toilet. Ruangan-ruangan tersebut terpisah dari
ruangan-ruangan utama, apalagi dari ruangan yang bersifat sakral/suci
bagi penghuninya.
Pola organisasi ruang dalam
rumah tradisi Jawa dibuat berdasarkan tingkatan atau nilai masing-masing
ruang yang terurut mulai dari area publik menuju area private atau
sakral. Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed ended plan
yaitu simetris keseimbangan yang berhenti dalam suatu ruang, yaitu
senthong tengah (Indrani, 2005: 11).
Dewi Sri dalam Krobongan Rumah Tradisi Jawa
Dewi Sri sangat akrab dengan
masyarakat agraris Jawa. Bagi mereka, Dewi Sri merupakan icon sekaligus
tokoh penting yang sangat berperan dalam menentukan hasil panennya
nanti. Maka tidak aneh apabila di rumah pribadi mereka, terdapat tempat
khusus yang digunakan sebagai tempat pemujaan terhdapa Dewi Sri. Selain
itu, Dewi Sri juga dikenal sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan
rumah tangga.
Dewi Sri dalam buku Sejarah
Wayang Purwa (Hardjowirogo, 1982 : 72) dijelaskan Dewi Sri adalah putri
Prabu Srimahapunggung dari negara Medangkamulan. Dewi Sri bersaudara
laki-laki yang bernama Raden Sadana.
Gambar 2. Penggambaran Dewi Sri dalam
Wayang Purwa (http://img181.exs.cx/img181/9018/shinta8tl.jpg).
Dewi Sri meninggalkan
Medangkamulan untuk menyusul saudaranya yang menolak untuk dikawinkan.
Ia mendapat berbagai cobaan dalam perjalanannya. Seorang raksasa terus
menggodanya. Setelah itu ia dikutuk menjadi ular sawah oleh ayahnya
namun kemudian ia berhasil kembali menjadi Dewi Sri seperti semula.
Selama perjalanan, Dewi Sri banyak mendapat pengalaman yang berhubungan
dengan pertanian.
Menurut Lombard (1996: 82),
walaupun mitos Dewi Sri berasal dari India namun di beberapa pulau di
Nusantara yang tidak tersentuh pengaruh India pun mengenal sosok Dewi
Sri sebagai Dewi Kesuburan. Ceritanya pun hampir sama, yaitu Dewi Sri
yang dikorbankan lalu dari seluruh bagian tubuhnya tumbuh berbagai
tanaman budidaya yang utama seperti padi. Mitos tersebut sangat kental
dengan pengaruh Hindu. Hal ini bisa saja terjadi akibat adanya asimilasi
antara paham animisme dan Hindu. Hasilnya muncul seorang tokoh simbolik
kaum petani Jawa, yang melindungi tanaman padinya terhadap
gangguan-gangguan hama tanaman padi, yang dianggap berasal dari para
lelembut atau jin mrekayangan (Widayat, 2004: 10). Berbagai cerita padi
muncul di Jawa sebelum datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan
cerita tersebut setelah datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan
dengan ajaran Hindu.
Penghormatan terhadap Dewi Sri juga dilakukan dalam upacara-upacara adat. Salah satunya adalah upacara bersih desa. Dalam upacara tersebut digelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon berjudul Srimantun yang menggambarkan reinkarnasi Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran dan anugerah dari dewata terhadap negara agar menjadi negara yang mekmur dan sejahtera serta tidak kekuarangan apapun. Untuk upacara bersih desa biasanya dipersembahkan sesajian yang diletakkan di dekat sawah antara lain terdiri atas :
1. Kelapa muda
2. Nasi dan telur ayam (puncak manik )
3. Rujak manis (pisang, asam)
4. Ketupat
5. Lepet
6. Cermin
7. Minyak kelapa
8. Minyak wangi
(Widayat, 2004: 13).
Krobongan sebagai ruangan khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri memiliki makna yang terdapat pada setiap benda yang ada di dalamnya.
a. Padi; Dewi Sri merupakan Dewi Kesuburan dan dilambangkan oleh apdi di dalam krobongan.
b. Patung Loro-Blonyo; patung mempelai pria dan wanita adat Jawa ini diletakkan di depan krobongan yang melambangkan kegahagiaan suami istri dan lambang kesuburan.
c. Pusaka/keris; pusaka/keris yang merupakan benda suci maka akan diletakkan di tempat suci pula seperti krobongan.
d. Kain Cindai/patola India; penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan merupakan kain cindai/patola India. Karena memiliki pola yang sarat dengan makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wisnu dan delapan tataran yoga)maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya pun dikeramatkan.
e. Hiasan Naga; hiasan naga pada krobongan muncul setelah mendapat pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana (dalam cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu ular Basuki melilit pada pinggang gunung Mandara yang membantu untuk keluarnya air amerta (abadi) yang dibutuhkan para dewa untuk diminum (Wibowo dkk., 1987 : 157). Sebelum datangnya Hindu ke Nusantara (zaman Neolitikum), dunia dianggap memiliki dua bagian yaitu dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat-sifat bertentangan. Dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, rajawali, kuda sedangkan dunia bawah dilambangkan dnegan gelap, bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya (Soegeng, 1957 : 11). Berdasarkan kepercayaan neolitikum dan cerita Mahabarata, ular selalu dikaitkan dengan air Makna hiasan ular pada krobongan merupakan simbol agar dalam bertani tidak akan kekurangan air (Widayat, 2004: 17).
b. Patung Loro-Blonyo; patung mempelai pria dan wanita adat Jawa ini diletakkan di depan krobongan yang melambangkan kegahagiaan suami istri dan lambang kesuburan.
c. Pusaka/keris; pusaka/keris yang merupakan benda suci maka akan diletakkan di tempat suci pula seperti krobongan.
d. Kain Cindai/patola India; penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan merupakan kain cindai/patola India. Karena memiliki pola yang sarat dengan makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wisnu dan delapan tataran yoga)maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya pun dikeramatkan.
e. Hiasan Naga; hiasan naga pada krobongan muncul setelah mendapat pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana (dalam cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu ular Basuki melilit pada pinggang gunung Mandara yang membantu untuk keluarnya air amerta (abadi) yang dibutuhkan para dewa untuk diminum (Wibowo dkk., 1987 : 157). Sebelum datangnya Hindu ke Nusantara (zaman Neolitikum), dunia dianggap memiliki dua bagian yaitu dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat-sifat bertentangan. Dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, rajawali, kuda sedangkan dunia bawah dilambangkan dnegan gelap, bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya (Soegeng, 1957 : 11). Berdasarkan kepercayaan neolitikum dan cerita Mahabarata, ular selalu dikaitkan dengan air Makna hiasan ular pada krobongan merupakan simbol agar dalam bertani tidak akan kekurangan air (Widayat, 2004: 17).
f.
Hiasan Burung Garuda; hiasan garuda pada krobongan merupakan simbol
penyeimbang dari hiasan naga atau ular yang melmbangkan dunia bawah,
maka garuda melambangkan dunia atas. Selain itu, burung garuda
mengingaktkan pada cerita Gurudeya. Burung garuda yang merupakan anak
Winata menyelamatkan ibunya dari perbudakan dan menjadikan para dewa
tidak mati. Dalam cerita tersebut, burung garuda menjadi sosok
pemberantas kejahatan, dan hal inilah yang diharapkan sehingga hiasan
burung garuda diletakkan pada krobongan (Widayat, 2004: 17).
Simpulan
Rumah tradisi Jawa memiliki
beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hirarki ruang di dalamnya.
Dari luar terdapat ruang publik yang besifat umum, semakin ke dalam
ruangan yang ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang disebut
teras merupakan ruangan terbuka tanpa atap. Teras juga merupakan ruang
publik sebagai area peralihan dari luar ke dalam rumah.
Ruangan selanjutnya yaitu
Pendopo yang masih berfungsi sebagai ruang publik, di ruangan inilah
biasanya tuan rumah menerima tamu-tamunya. Pendopo memiliki bentuk
ruangan persegi dan memiliki empat tiang (soko guru) yang terdapat di
tengah-tengah pendopo. Ruangan ini tidak memiliki pembatas pada keempat
sisinya, hal ini melambangkan keterbukaan pemiliknya terhadap siapa saja
yang datang. Pendopo menggambarkan gaya hidup masyarakat Jawa yang
rukun.
Pringgitan merupakan ruang
peralihan antara area publik dan privat, yaitu terletak diantara pendopo
dan dalem ageng. Pringgitan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan
wayang kulit apabila ada acara khitanan, ruwatan, perkawinan, dsb.
Ruangan yang disebut dalem ageng merupakan ruang privat (pribadi), salah
satu fungsinya sebagai ruang berkumpulnya seluruh anggota keluarga.
Bentuk ruangan ini persegi dengan dilingkupi dinding pada setiap
sisinya. Di dalam ruangan dalem ageng terdapat tiga petak ruangan yang
berukuran sama besar disebut senthong. Senthong kiwa dan senthong tengen
di sisi kanan dan kiri merupakan tempat tidur anggota keluarga pria dan
wanita, sedangkan senthong tengah merupakan senthong paling
sakral/suci. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat pemujaan
kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga.
Senthong tengah merupakan area paling privat (pribadi) bagi pemilik
rumah tradisi Jawa.
Bagian rumah lain yang
bersifat privat adalah gandhok, pawon dan pekiwan. Gandhok merupakan
ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem ageng dan pringgitan.
Sedangkan pawon merupakan bangunan di belakang dalem ageng dan terletak
jauh dari tempat paling suci (senthong tengah/krobongan) fungsinya
sebagai dapur. Ruangan yang berfungsi sebagai wc adalah pekiwan.
Ruangan-ruangan yang dianggap ‘kotor’ ini diletakkan jauh-jauh dari
ruangan-ruangan utama sebelumnya, seperti dalem ageng atau krobongan
sebagai tempat suci pemujaan Dewi Sri.
Krobongan sebagai tempat suci
bagi para penghuni rumah tradisi Jawa erat kaitannya dengan mitos dan
kepercayaan masyarakat agraris Jawa terhadap Dewi Sri. Dewi Sri yang
melambangkan kesuburan dan kebahagiaan dalam rumah tangga sangat dekat
dengan kehidupan masyarakat Jawa. Di ruangan sakral tersebut tersimpan
benda-benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan magis yang juga
disertai dengan alat-alat penuh makna mistis yang dikaitkan dengan paham
Hindu dan zaman neolitikum. Keberadaan krobongan dalam rumah tardisi
Jawa menggambarkan dunia orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari
pemahaman tentang keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Segala
sesuatunya selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan alam, sesuatu yang
metafisik, sebagaimana orang Jawa memahami rumah Jawanya. Keseimbangan
kosmologi tersebut dibangun diatas pemahaman yang selalu dalam bentuk
dualitas, seperti adanya siang-malam, panas-dingin, utara-selatan, dan
laki-laki-perempuan; selain itu juga adanya makna simbolik yang mengacu
pada tiga, empat atau lima kutub.
Kepustakaan
Widayat, Rahmanu. 2004. “Krobongan Ruang Sakral Rumah Tradisi Jawa”.
Dimensi Interior, Vol. 2 No. 1, hal. 1-21.
Hedy C. Indrani dan Maria Ernawati Prasodjo. 2005. “Tipologi, Organisasi Ruang, dan Elemen Interior Rumah Abu Han di Surabaya”.
Dimensi Interior, Vol. 3 No.1, hal-44-65.
Muqoffa, Muhammad. 2005. “Mengkonstruksikan Ruang Gender pada Rumah Jawa di Surakarta dalam Perspektif Kiwari Penghuninya”. Dimensi
Interior, Vol. 33 No.2, hal. 87-93.
Hidayatun, Maria I. 1999. “Pendopo dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendopo pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan”. Dimensi TeknikArsitektur, 27, hal. 37-46.
Wibowo, HJ. dkk. 1987. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,
Yogyakarta : Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Hardjowirogo. 1982. Sejarah Wayang Purwa, Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Singh, Lisa. 1988. Patola, Kisah Kasih sehelai Kain, Buku Cindai, Pengembaraan Kain Patola India, Jakarta : Himpunan Wastraprema.
Soegeng. 1957. Sedjarah Kesenian Indonesia , Jakarta : Fasco.
Rangka Konstruksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar