Media Pesantren "GONTOR"
Hobi Bernilai Ekonomi Tinggi
Berawal dari hobi memasak, ada yang membuka restoran. Profesi lainnya,
yang biasanya dimulai dari hobi adalah fotografer, pelukis, penulis, dan
seterusnya. Salah satu di antara mereka yang menggeluti hobi yang
kemudian menjadi profesi adalah Agusti Esden (55), perajin miniatur
rumah adat dari bambu.
Setelah pensiun tiga tahun silam, Esden mulai
menekuni kegiatan membuat miniatur rumah adat dari bambu. Karena
terbiasa dengan aktivitas yang padat, tentu tidak mudah berdiam diri
saja di rumah. Kalau tidak diisi dengan aktivitas yang positif, kerjanya
bisa-bisa hanya marah-marah tak jelas.
“Begitulah fenomena pensiunan yang harus berhenti kerja di hari tua,”
ujar Esden.Saat itu, ia mengajar kesenian di Badan Kerukunan Umat Islam
(BKUI). Lalu, ia bermaksud mengenalkan berbagai rumah adat di Indonesia
kepada para siswa. Namun terasa hampa jika hanya menggunakan gambar di
atas kertas. Sedangkan untuk mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah
(TMII), tentu harus keluar biaya yang tidak kecil.
Untuk itu, pria
asal Minang ini membuat miniatur rumah adat daerah dari bambu. Selain
itu, ia juga ingin melestarikan budaya warisan nenek moyang. Menurutnya,
anak sekarang banyak yang tidak mengenali budaya negerinya sendiri.
“Apalagi jika ditanya tentang rumah adat, hanya beberapa orang saja yang
tahu,” ucap mantan kontraktor ini.
Tidak disangka, hobinya ini
mendapat sambutan hangat masyarakat. Seorang teman memintanya untuk
mengikuti bazar budaya di Jakarta Convention Center (JCC). Berangkat
dari situ, permintaan atas buah karya tangan Esden pun mulai
berdatangan.
Pemesanan pun beragam, mulai dari instansi pendidikan
sampai kolektor yang hobi mengumpulkan karya seni, dengan permintaan
beraneka macam rumah adat seperti Betawi, Padang, Aceh, Palembang,
Batak, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi.
Di samping itu, Esden
juga menerima pemesanan khusus, seperti rumah pribadi dengan syarat
terbuat dari kayu atau bambu. Hanya dengan memberikan foto, dia siap
merangkai bambu menjadi sebuah miniatur rumah mirip dengan aslinya,
bahkan sedetail-detailnya.
Pernah seorang lelaki menangis bahagia,
ketika melihat miniatur rumahnya dahulu kala. Bagi Esden, bisa
membahagiakan orang lain itu lebih mendamaikan hatinya dibanding nilai
jual yang ia dapatkan. “’Di sini tempat saya main waktu kecil’, dengan
sedikit tetesan air mata bahagia,” tutur Esden menirukan salah satu
pembelinya.
Saat ini, hampir setiap hari ia habiskan waktunya
bersama bambu dan lem untuk memenuhi permintaan para pelanggannya. Ia
pun mengaku tidak pernah lelah membuat miniatur rumah adat ini walaupun
agak sedikit rumit. “Bekerja karena hobi sangat menyenangkan,” ujar
pemilik Esden Art ini.
Puluhan miniatur rumah dan masjid
berfondasikan bambu telah ia buat dan berhasil terjual walaupun
pemasarannya hanya melalui internet. Harga yang ditawarkan berkisar 600
ribu sampai jutaan rupiah. “Tergantung pemesanan dan tingkat kesulitan
pembuatannya,” ujar ayah tiga anak ini.
Meski sudah pensiun, Esden
tetap memiliki penghasilan di masa tuanya. Ia mampu mengubah hobi
menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi. Ia berharap, ada generasi
muda dapat meneruskan keterampilan ini. “Rumah saya selalu terbuka lebar
bagi mereka yang mau belajar,” ungkapnya. (RYAN FEBRIYANTI)