Sabtu, 23 November 2013

MUSHALA BETAWI

Mushala Betawi

Dengan mengambil bentuk atap Masjid Al Munawir Angke, dijadikan miniatur Mushala Betawi








Rumah si Pitung

Rumah si Pitung

Rumah si Pitung tampak depan atas

Rumah si Pitung terletak di perkampungan Marunda Jakarta Utara, sebenarnya rumah ini bukan tipe rumah masyarakat Betawi dan rumah ini juga milik ''Robinhood'' Betawi yang terkenal itu melainkan milik orang kaya di daerah Maruda dulunya. Penamaan rumah ini menjadi rumah si Pitung karena rumah inilah yang paling sering di rampok oleh si Pitung, walaupun rumah ini telah di jaga oleh banyak centeng namun si Pitung tetap bisa masuk menggasak isi rumah ini. Uang rampokan itu di bagikan oleh si Pitung kepada kaum Dhuafa/miskin di sekitar daerah Marunda dan cilincing.

Pemasangan Kuda-kuda

 Tampak depan sebelum dipasang atap


 Tampak Depan


 Tampak samping belakang sewaktu pemasangan kuda-kuda


Tampak samping

Minggu, 20 Januari 2013

Agusti Esden, Perajin Miniatur Rumah Adat dari Bambu

Agusti Esden, Perajin Miniatur Rumah Adat dari Bambu
Media Pesantren "GONTOR"

Hobi Bernilai Ekonomi Tinggi

Berawal dari hobi memasak, ada yang membuka restoran. Profesi lainnya, yang biasanya dimulai dari hobi adalah fotografer, pelukis, penulis, dan seterusnya. Salah satu di antara mereka yang menggeluti hobi yang kemudian menjadi profesi adalah Agusti Esden (55), perajin miniatur rumah adat dari bambu.
Setelah pensiun tiga tahun silam, Esden mulai menekuni kegiatan membuat miniatur rumah adat dari bambu. Karena terbiasa dengan aktivitas yang padat, tentu tidak mudah berdiam diri saja di rumah. Kalau tidak diisi dengan aktivitas yang positif, kerjanya bisa-bisa hanya marah-marah tak jelas.
“Begitulah fenomena pensiunan yang harus berhenti kerja di hari tua,” ujar Esden.Saat itu, ia mengajar kesenian di Badan Kerukunan Umat Islam (BKUI). Lalu, ia bermaksud mengenalkan berbagai rumah adat di Indonesia kepada para siswa. Namun terasa hampa jika hanya menggunakan gambar di atas kertas. Sedangkan untuk mengunjungi Taman Mini  Indonesia Indah (TMII), tentu harus keluar biaya yang tidak kecil.
Untuk itu, pria asal Minang ini membuat miniatur rumah adat daerah dari bambu. Selain itu, ia juga ingin melestarikan budaya warisan nenek moyang. Menurutnya, anak sekarang banyak yang tidak mengenali budaya negerinya sendiri. “Apalagi jika ditanya tentang rumah adat, hanya beberapa orang saja yang tahu,” ucap mantan kontraktor ini.
Tidak disangka, hobinya ini mendapat sambutan hangat masyarakat. Seorang teman memintanya untuk mengikuti bazar budaya di Jakarta Convention Center (JCC). Berangkat dari situ, permintaan atas buah karya tangan Esden pun mulai berdatangan.
Pemesanan pun beragam, mulai dari instansi pendidikan sampai kolektor yang hobi mengumpulkan karya seni, dengan permintaan beraneka macam rumah adat seperti Betawi, Padang, Aceh, Palembang, Batak, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi.
Di samping itu, Esden juga menerima pemesanan khusus, seperti rumah pribadi dengan syarat terbuat dari kayu atau bambu. Hanya dengan memberikan foto, dia siap merangkai bambu menjadi sebuah miniatur rumah mirip dengan aslinya, bahkan sedetail-detailnya.
Pernah seorang lelaki menangis bahagia, ketika melihat miniatur rumahnya dahulu kala. Bagi Esden, bisa membahagiakan orang lain itu lebih mendamaikan hatinya dibanding nilai jual yang ia dapatkan. “’Di sini tempat saya main waktu kecil’, dengan sedikit tetesan air mata bahagia,” tutur Esden menirukan salah satu pembelinya.
Saat ini, hampir setiap hari ia habiskan waktunya bersama bambu dan lem untuk memenuhi permintaan para pelanggannya. Ia pun mengaku tidak pernah lelah membuat miniatur rumah adat ini walaupun agak sedikit rumit. “Bekerja karena hobi sangat menyenangkan,” ujar pemilik Esden Art ini.
Puluhan miniatur rumah dan masjid berfondasikan bambu telah ia buat dan berhasil terjual walaupun pemasarannya hanya melalui internet. Harga yang ditawarkan berkisar 600 ribu sampai jutaan rupiah. “Tergantung pemesanan dan tingkat kesulitan pembuatannya,” ujar ayah tiga anak ini.
Meski sudah pensiun, Esden tetap memiliki penghasilan di masa tuanya. Ia mampu mengubah hobi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi. Ia berharap, ada generasi muda dapat meneruskan keterampilan ini. “Rumah saya selalu terbuka lebar bagi mereka yang mau belajar,” ungkapnya. (RYAN FEBRIYANTI)